Kolom

Jurus pelaju ekonomi

Mandeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini di level 5% bukanlah kutukan, bukan pula sekadar takdir, melainkan diciptakan sendiri

Jumat, 24 Mei 2019 17:10

Mandeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini di level 5% bukanlah kutukan, bukan pula sekadar takdir, melainkan diciptakan sendiri. Kitalah yang menentukan angka berapa atau sebesar apa pertumbuhan yang ingin kita capai. Kita membuat proyeksi, menetapkan target, berusaha meraihnya, bahkan melampauinya. Sesederhana itu. Namun meraihnya saja tentu membutuhkan usaha dan pemikiran tak sedikit. Tak mungkin target tersebut dapat diraih, apalagi terlampaui, bila kita hanya berleha-leha.

Pemerintah telah bekerja-kerja-kerja. Ini kita saksikan bersama. Lantas mengapa perekonomian kita masih tetap mandek? Ini keheranan yang wajar dilontarkan warga negeri ini. Untuk merespons keheranan ini, saya mencoba mengajukan dua pertanyaan kritis. Apa sebenarnya problem yang dihadapi oleh faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi; lalu bagaimana cara kita menyelesaikan problem-problem tersebut?

Berdasar teori, pertumbuhan ekonomi ditopang empat faktor berupa konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, investasi dan ekspor (dikurang impor). Di tahun lalu konsumsi rumah tangga yang menjadi faktor dominan tumbuh dengan baik sesuai tren, yakni 5,05%. Anggaran pengeluaran pemerintah berhasil menekan angka defisitnya di bawah target dan tumbuh 4,8%. Investasi tak kalah baik berhasil tumbuh positif 6,67%. Angka ekspor tumbuh 6,48%. Sayangnya angka ekspor ini tak cukup menambal beban impor yang melesat tumbuh 12,04%. Nilai negatif ekspor memberi dampak penurunan bagi pertumbuhan ekonomi.

Nah, problem telah ditemukan. Selanjutnya mari eksekusi penyelesaiannya. Perlu diingat, sedekade belakangan kita sudah mendera empat kali defisit neraca perdagangan, yakni pada 2012 (US$ 1,7 miliar), 2013 (US$ 4,1 miliar), 2014 (US$ 1,89 miliar) dan terakhir 2018 (US$ 8,57 miliar).

Defisit terjadi akibat ketidakseimbangan porsi ekspor dan impor. Nilai impor mengalahkan nilai ekspor. Semestinya ketika impor semakin besar, maka ekspor juga harus mengikut, atau bahkan melampaui agar menciptakan surplus. Namun mengapa nilai ekspor kita justru terus menurun dari waktu ke waktu?

Muhammad Husein Heikal Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait