Pandemi Covid-19 telah mengubah hampir semua mekanisme pertemuan menjadi online atau digital.
Dalam diskusi virtual bertajuk “Pilkada 9 Desember 2020 Mungkinkah?” (Minggu, 19/4/2020), Ketua KPU Arif Budiman menyatakan, KPU telah merancang beberapa mekanisme pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) menjadi digital, salah satunya tahapan kampanye yang akan dilakukan secara digital alias digital campaign. Hal ini, menurutnya untuk mencegah pertemuan banyak orang yang biasanya terjadi setiap diselenggarakannya kampanye pilkada.
Meskipun rancangan tersebut masih akan dibahas dan dikonsultasikan KPU dengan pemerintah dan DPR, sebagai sebuah diskusi alternatif penyelenggaraan pemilu di masa seperti sekarang ini, saya kira sangat relevan. Seperti kita alami bersama, pandemi Covid-19 telah mengubah hampir semua mekanisme pertemuan menjadi online atau digital, seperti misalnya rapat online, diskusi online, wisuda online, belajar online, ibadah online dan sebagainya.
Sehingga wajar, KPU mengusulkan kampanye digital menjadi alternatif pengganti kampanye konvensional.
Hal menarik jika kampanye digital ini disetujui adalah tentang perubahan strategi pemenangan pilkada. Pola-pola peningkatan elektabilitas kandidat pun akan berubah. Selama ini, startegi kampanye konvensional dilakukan dengan pendekatan “dunia nyata” dan “dunia maya”; lapangan dan media; jurkam dan buzzer.
Untuk konstituen bukan pengguna internet, pola pendekatan akan “habis-habisan” memanfaatkan kampanye terbuka, door to door. Sementara, kandidat dengan konstituen masyarakat kota dan aktif bermedia sosial, mereka akan serius menggarap kampanye di media. Akan tetapi, ketika keputusan kampanye digital diberlakukan, maka semua akan beralih berkampanye di media, tanpa membedakan lagi kondisi geografis dan sosiologis konstituennya.
Ketimpangan akses