Polisi Israel penjaga kompleks Al Aqsha semakin memberikan kebebasan kepada pengunjung Yahudi sejak 2017.
Hari ini, tepat sepekan Perang Gaza pecah sejak Sabtu 7 Oktober. Hamas memulai serangan lewat Operasi Topan Al Aqsha, Israel membalas melalui Operasi Pedang Besi. Tulisan ini bukan kronik tentang data jumlah korban atau jenis senjata yang digunakan. Saya mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat dan lebih cermat salah satu masalah utama Palestina-Israel dari perspektif sejarah dan hukum Taurat.
Pada 6 Juni 1967, hari kedua Perang Enam Hari, para penerjun payung Israel dari Brigade 55 yang dikomandani Kolonel Motta Gur sukses memasuki wilayah Yerusalem Timur di bawah kekuasaan Yordania. “Har HaBayit sudah kita kuasai,” seru Kolonel Gur gembira melalui radio ke markas besar militer.
Ini bukan cuma laporan operasi biasa melainkan sebuah klaim sejarah yang istimewa. Sebab, Har HaBayit adalah bahasa Ibrani untuk Bukit Bait Suci (Temple Mount) atau al Haram al Sharif dalam bahasa Arab. Inilah lokasi Masjid Al Aqsha tempat Nabi Muhammad s.a.w. melakukan isra mi’raj pada abad ke-7.
Petugas radio Brigade 55 bernama Ezra Orni di samping Kolonel Gur dengan cekatan mengeluarkan bendera Israel dari salah satu sakunya dan bertanya apakah boleh mengibarkannya dari Kubah Emas?
“ Yalla!” jawab Kolonel Gur. Lakukan!.
Maka Orni ditemani Mayor Arik Achmon bergegas naik ke bangunan suci yang juga disebut Kubah Batu (Dome of the Rock) itu. Bendera Bintang Daud pun berkibar.