Kolom

Korupsi kolektif

Salah satu hal buruk yang berpotensi muncul dengan UU KPK baru adalah korupsi hanya akan dianggap sebagai persoalan administrasi.

Selasa, 17 September 2019 17:49

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah disahkan, nyaris tanpa perdebatan dalam pembahasannya. Pengesahan UU KPK mengantarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada posisi dilematis, dirundung beban. Merestui UU yang lebih banyak ditolak berbagai kalangan itu, atau tetap tegap membubuhkan tanda tangannya, dan mendapat sorak sorai dari pendukung UU KPK baru.

Posisi ini sebenarnya tidak sulit, mengingat Presiden juga pernah dihadapkan persoalan serupa, dilematis, saat menerima Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Presiden bergeming dengan pendiriannya, tidak menerima dikte dari orang terdekat, hingga memutuskan apa yang tidak diharapkan, menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Pun saat ini, Jokowi kembali mendapati persoalan serupa, menerima Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, atau menolak dengan catatan rasional yang bersangkutan terlibat pelanggaran etik semasa menjabat di lembaga antirasuah sebagai Deputi Penindakan KPK. Juga, apakah Jokowi menerima atau menolak revisi UU KPK yang dalam kajian berbagai pihak, justru melemahkan kesaktian KPK. Setidaknya, hingga tulisan ini bergulir, Jokowi menyetujui dua hal di atas yang senyata-nyatanya mendapat penolakan luar biasa.

Perubahan materi UU KPK nomor 30 tahun 2002, berpotensi buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebaliknya, korupsi kolektif akan mendapat celah untuk meretas jalan baru, jerat hukum tidak lagi mengancam, karena banyak cara untuk melunakkan. Koruptor memiliki hak istimewa dihentikan kasusnya melalui masa tenggang penerbitan SP3. Penyadapan sulit dilakukan karena ada Dewas yang dipilih langsung Presiden, dan banyak lagi.

Senjakala KPK

Dedi Kurnia Syah P Reporter
Mona Tobing Editor

Tag Terkait

Berita Terkait