Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926 atas gagasan Kiai Hasjim Asj’ari (1875-1947)
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926 atas gagasan Kiai Hasjim Asj’ari (1875-1947). Organisasi Islam ini berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan berpegang teguh pada salah satu dari empat mazhab dalam Islam. Tokoh-tokoh pendirinya antara lain: Kiai Hasjim Asj’ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasjim, dan Kiai Masjkur.
Pendirian Nahdlatul Ulama (NU) oleh para ulama tradisional bukanlah sekadar reaksi terhadap pembentukan organisasi-organisasi reformis-modernis Islam di Indonesia, dan acumannya terhadap pelbagai praktik yang dianggap tidak Islami oleh kaum reformis-modernis, tetapi dianggap bagian ortodoksi yang telah terbudayakan oleh kaum tradisionalis.
Lahirnya NU juga berkaitan dengan perkembangan di Hijaz dan “Persoalan Kekhalifahan” yang muncul sesudah Kekhalifahan Ustmani dibubarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938) pada 1924.
Menjelang peristiwa dramatis itu, sebagai para “nakhoda” kaum tua, komunitas ulama tradisional–di antara mereka terdapat salah seorang pendiri dan ketua perdana NU, Kyai Hasjim Asj’ari (1875-1947) telah mendukung Syarif Mekah, Husain bin Ali al-Hasjimi (1853-1931). Husain dianggap sekutu oleh mereka karena sama-sama membancang upaya kaum muda mendapat pengaruh di Haramain dan daerah Hijaz.
Sementara itu, Sjarif Husain membantu para Ulama Jawi menjaga Mekah sebagai wilayah mereka dengan mengadakan pertemuan orang Jawa, Melayu, Minangkabau, dan Palembang yang tinggal di Mekah untuk mewanti-wanti mereka agar tak meniru praktik-praktik kaum muda di Mesir, para ulama lokal asal Asia Tenggara juga menjadi basis dukungan bagi Sjarif Husain dalam menghadapi kemajuan gerakan Wahabi, yang dipimpin Dinasti Saud dari Arab Tengah.