Di Indonesia, paham yang ingin membebaskan ruang publik dari dominasi satu agama belum kokoh.
Akankah Habieb Rizieq menjelma menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia? Ataukah Ia justru menjadi kekuatan yang membelah Indonesia dalam pro dan kontra yang emosional? Bahkan membelah secara ideologis?
Pertanyaan ini yang datang ketika Saya melihat antusias ribuan penduduk menjemput kepulangannya dari bandara.
Massa menyemut dengan dominasi warna putih. Salawat Nabi, Shallall?hu 'alayhi wa as-sall?m. Juga takbir Allahu Akbar.
Dari ekspresi wajah yang menjemput, terasa itu kerinduan, penghormatan, dan girah yang otentik dari massa yang menyemut kepada pemimpin agama. Kepada pemimpin sebuah paham.
Dalam sejarah politik Indonesia, setidaknya sejak era reformasi, tak pernah ada tokoh yang mendapatkan penjemputan mengharu biru seperti itu. Tidak presiden. Tidak super star musik. Bahkan tidak juga ulama lain.