Gilang-gemilangnya capaian PDIP selama lima tahun belakangan ini sepatutnya menjadi momentum menginisiasi terciptanya regenerasi.
Tidak ada yang meragukan kedigdayaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), setidaknya dalam lima tahun belakangan ini. PDIP merupakan satu-satunya partai yang mampu memenangi pemilihan legislatif (pileg) secara berturut-turut di era pascareformasi. PDIP juga berhasil mengantarkan kadernya, yakni Joko Widodo menjadi presiden selama dua periode.
Sebelumnya, perjalanan PDIP di panggung politik nasional mengalami pasang surut. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) pertama pascareformasi di 1999, PDIP berhasil memuncaki perolehan suara nasional dengan 33,74% dan menguasai 153 atau setara 33,12% kursi di parlemen.
Di pemilu berikutnya pada 2004, PDIP gagal mempertahankan dominasi suara. Perolehan suaranya bahkan terjun bebas ke angka 18,53%. Di parlemen, jumlah kursi yang dimiliki PDIP juga turun menjadi 109 atau setara 19,82% dari total kursi DPR RI.
Namun, titik nadir sesungguhnya dari perjalanan PDIP ialah pada Pemilu 2009. Raihan suara PDIP kala itu hanya 14,03%, sedangkan di parlemen, PDIP hanya memiliki 90 kursi atau setara 16,96%.
Titik balik perjalanan PDIP terjadi pada Pemilu 2014 kala memenangi pileg dengan mengantongi suara tertinggi, yakni 18,95%. Sebanyak 109 atau setara 19,46% kursi di parlemen pun berhasil dikuasai PDIP. Tidak hanya itu, PDIP juga berhasil mengantarkan kadernya, Joko Widodo, sebagai presiden.