Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan telah bertransformasi luar biasa. Pengecer terus mengembangkan outlet dan sistem distribusi.
Suatu ketika, Inez-Loedin membagikan warta: Quinoa banyak diburu orang. Ahli genetika asal Indonesia yang kini bekerja di IRRI (International Rice Research Institute), Filipina, itu bercerita tanaman bernama latin Chenopodium quinoa ini digandrungi kala pandemi Covid-19. Quinoa mengandung serat tinggi, antioksidan, dan kaya nutrisi/gizi yang penting bagi imunitas tubuh. Sontak, warta di grup percakapan yang saya ikuti itu menuai respons beragam. Ada yang bertanya apa itu Quinoa, berapa harganya, bisa didapat di mana, apa ada di Indonesia, dan seterusnya. Kesepian ruang diskusi berubah.
Saat itu, pandemi Covid-19 masih pada tahap awal. Belum beranjak jauh, sejak pertama kali diumumkan Presiden Jokowi, 2 Maret 2020. Kala itu, di berbagai daerah di Tanah Air, warga ramai berburu rempah-rempah atau empon-empon, seperti jahe, kunyit, kapulaga, dan lainnya. Minuman herbal, yang diyakini bisa menaikkan imunitas tubuh, juga digandrungi banyak orang. Ramuan yang kesohor di Jawa itu mendadak populer. Harganya pun melejit. Seorang anggota grup bertanya: Apakah Quinaa setara rempah?
Tentu saja tidak. Quinoa bisa disejajarkan dengan gandum atau sorgum. Bijinya mirip biji sorgum. Karena sebagai sumber karbohidrat, fungsi utama Quinoa tentu untuk memenuhi kebutuhan energi/kalori tubuh. Ini berbeda dengan rempah, yang berfungsi membentengi badan lewat kandungan tinggi antioksidan dan zat antiinflamasi. Keduanya Quinoa dan rempah, amat penting untuk melawan pandemi. Masalahnya, Quinoa tidak ada di Indonesia. Ia harus diimpor dari wilayah asalnya, dari daerah Amerika Tengah.
Itu berarti biji-bijian ini mesti “jalan-jalan” sepanjang 17.474 km sebelum bisa disantap warga negeri ini. Quinoa harus diangkut ke pabrik, dikemas, dan dibawa ke pelabuhan. Lewat jalur laut inilah biji-bijian dikirimkan ke negara pengimpor. Berapa biaya angkut, berapa lama untuk sampai di Indonesia, berapa bahan bakar dibakar, berapa emisi dibuang, berapa harga di level konsumen, dan seterusnya. Tanpa harus menghitung, hampir bisa dipastikan ada banyak biaya dan energi “dibuang” guna meraih pangan sehat.
Pada titik ini, penting untuk merefleksikan ulang bagaimana makanan berpindah dari lahan ke garpu di meja makan. Selama ini, barangkali tak pernah terpikir berapa ratus, bahkan ribuan, kilometer makanan ”jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga disantap mulut. Kian jauh ”jalan-jalan”, bukan saja kian mahal, makanan yang disantap itu juga kian tidak berkelanjutan, semakin banyak membakar BBM, dan kian tak ramah lingkungan. Tanpa disadari, lewat pola pangan semacam ini kita berandil merusak alam.