Pendidikan Pancasila tak boleh berhenti di penghafalan lima sila, namun harus meresap ke dalam hati dan perilaku.
Hari Kesaktian Pancasila, yang diperingati setiap 1 Oktober, bukan hanya sekadar ritual tahunan, melainkan ajakan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menyelami kembali makna hakiki dari Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa.
Tragedi kelam 30 September 1965 bukan sekadar catatan sejarah, tetapi pengingat abadi bahwa di tengah ancaman ideologi asing dan konflik politik, Pancasila menjadi tameng yang menjaga keberlangsungan negeri ini.
Lebih dari sekadar seremoni, peringatan ini harus menjadi saat di mana setiap individu memaknai ulang dan menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, menjadikannya roh yang membimbing langkah bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Nilai-nilai inklusif Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, adalah pondasi kebangsaan yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap keberagaman dan kemanusiaan.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial, tantangan terbesar yang kita hadapi bukan sekadar menjaga Pancasila sebagai hafalan, tetapi memastikan agar "roso" dari Pancasila hidup dalam setiap tindakan kita sebagai warga negara. Nilai-nilai seperti keadilan sosial, penghormatan terhadap sesama, dan gotong royong harus dihadirkan dalam kebijakan pemerintah, interaksi sehari-hari, hingga ranah pendidikan.