Kolom

Metafisika bencana dan realisme sains tanggap bencana

Dari nalar sains modern, kita mengenal bencana alam, tapi bukan murka Tuhan, azab, hukuman berbasis dosa, dan seterusnya

Rabu, 30 Januari 2019 14:01

Setelah kita membaca buku Guns, Germs & Steel (2013) dan buku Collapse (2014) karya Jared Diamond, lalu membaca buku Sapians (2017) dan terutama buku Homo Deus (2018) karya Yuval Noah Harari, jejak langkah ilmu manusia dalam wujud sains modern, terutama selama tiga abad terakhir, sudah sampai pada penghakiman bahwa apa yang terjadi di muka bumi sebagai bukanlah kehendak kuasa murni Tuhan sebagai azab atas kemurkaannya pada manusia. 

Peristiwa gunung meletus, tsunami, banjir, atau kejadian besar yang menggoncangkan alam, hanyalah peristiwa alami di bumi atau alam semesta. Semuanya terjadi sesuai dengan hukum-hukum alam semesta sebagaimana dipahami sains modern. 

Betapa sangat besar perbedaan keyakinan antara manusia beriman pada abad pertengahan, dengan modern yang beriman pada sains dalam persepsi mereka terhadap kejadian dan peristiwa alam. Yang satu serba kembali pada kuasa ilahi sebagai penyebab utama (prima causa); yang modern selalu berusaha mengembalikan pada penyebab-penyebab alami. 

Memang tidak mudah mengakui perubahan sangat besar nan revolusioner ini. Sampai sekarang dan pada tahun-tahun mendatang, kita masih (akan) tetap mendapati vonis teologis bahwa peristiwa alam yang membawa kerusakan adalah bencana dan azab dari Tuhan.

Semua itu adalah bentuk penghukuman dari Tuhan kepada manusia yang durhaka, penuh dosa, dan berlumur maksiat. Nalar religi mempersepsi bahwa tiap bencana alam adalah hukuman langsung dari Tuhan atas dosa-dosa yang dilakukan manusia di bumi. 

M Fauzi Sukri Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait