Penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
Wacana Kemenhub mengoperasikan O-Bhan sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city, lebih baik diabaikan saja.
Keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya. Selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, belum tentu Pemda mau menerima konsep tersebut. Apalagi regulasi untuk menerapkannya belum ada. Bisa menimbulkan masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi.
Teknologi yang tidak murah dan masih asing di Indonesia menjadi alasan butuh waktunya menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Itulah sebabnya untuk lima tahun ke depan, mengoperasikan O-Bhan lebih baik cukup sebagai wacana saja.
O-Bhan merupakan perpaduan bus rapid transit dan light rapid transit. O-Bhan sudah beroperasi di beberapa negara seperti Jerman, Australia, dan Jepang. O-Bhan bisa mengangkut sekitar 2.000 penumpang. Selain itu, moda transportasi ini lebih unggul dibandingkan BRT ataupun Trem. Meski demikian, pembangunan O-bhan akan lebih mahal 20% dibandingkan busway, namun lebih murah secara biaya operasi dan per satu penumpang per kilometer.
Itulah sebabnya akan lebih baik jika pemerintah fokus pada rencana mengembangkan konsep buy the service. Seperti diketahui pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat akan meluncurkan program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service. Program ini rencananya diberikan pada enam perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar (Sarbagita). Alokasi anggaran sudah disiapkan.