Dampak UU Omnibus Law
Di periode kedua pada masa pemerintahannya, Joko Widodo memberikan prioritas utama merampungkan draf Undang-Undang Cita Kerja atau yang di kenal sebagai “Omnibus Law”.
Dengan cepat, Jokowi memerintahkan seluruh jajarannya, Kapolri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan seluruh kementerian yang berkaitan agar melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat dan kalangan akademisi agar Omnibus Law ini diterima dengan baik tanpa ada hambatan.
Namun, gerak cepat Jokowi untuk mengesahkan UU Omnibus Law ini mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, sebab kehadiran UU ini dianggap cacat norma baik dari sisi prosedur formil maupun materiil yang terkait dengan materi muatan yang terkandung di dalam UU Omnibus Law tersebut.
Secara formil, dengan tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.
Sementara dari perspektif materiil, UU ini dinilai bertentangan dengan berbagai UU lain yang masih berlaku, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sejumlah pasal dan ketentuan dalam Undang-Undang yang selama ini jadi tumpuan untuk kelestarian alam, diubah bahkan dihapus oleh UU Cipta Kerja.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan, setidaknya ada enam Undang-Undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam ditabrak oleh UU Cipta Kerja.
Keenam Undang-Undang tersebut adalah; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Terdapat banyak norma pasal penting dalam beberapa Undang-Undang tersebut di atas diubah dan dihilangkan, sehingga keberadaan UU Cipta Kerja tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber daya alam dan masyarakat.
Dampak lain pada sektor pertanahan, keberadaan UU Omnibus Law bisa memengaruhi penguasaan dan penggunaan tanah, menimbulkan konflik, atau mengancam perlindungan hukum masyarakat adat. Sementara pada bidang administrasi pemerintahan, penyederhanaan birokrasi memang dapat mempercepat proses perizinan, tetapi bisa juga memunculkan kekhawatiran terkait pengawasan dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan, termasuk pemberian izin penggunaan lahan untuk pelaku usaha.
Pagar laut sebagai bukti empiris daya kerja UU Omnibus Law
Munculnya kasus pemasangan pagar laut sepanjnag lebih dari 30 kilometer yang disertai penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di pesisir Tangerang telah memunculkan polemik serius.
Bahkan, pemasangan pagar laut tersebut, tidak hanya di wilayah pesisir Tangerang, namun terdapat juga di beberapa pesisir wilayah lain, seperti Bekasi, Batam, Surabaya, dan Sumenep, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (Kamis (23/1/2025).
Dampak dari kemunculan pagar laut ini, tidak hanya kerusakan ekologis, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat nelayan yang bergantung pada laut.
Pemagaran laut yang menjadi isu kontroversial saat ini, menurut sebagian pakar merupakan tindakan melanggar hukum dan prinsip pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan.
Kasus ini, tidak hanya mencerminkan masalah pelanggaran hukum, tetapi juga kegagalan kolektif dalam menjaga kedaulatan kelautan Indonesia, sehingga patut untuk dikaji, dari mana sabab musabab munculnya pagar laut tersebut, karena kemuculan pagar laut yang sangat luas tersebut tidak sertamerta muncul secara tiba-tiba, pasti ada alasan yang mendasari, sehingga pihak yang melakukan pemagaran tersebut berani untuk melakukan tindakan pemagaran laut tersebut.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa keberadaan UU Omnibus Law telah banyak menabrak dan menghapus kurang lebih 80 Undang-Undang, salah satunya adalah UU No.32 2014 tentang Kelautan. Pasal 17A menyebutkan bahwa “Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut”.
Sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut maka, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Pada bagian lima, terdapat ketentuan tentang Pemberian Hak untuk Pulau Kecil dan Wilayah Perairan. Pasal 65 ayat 2 PP No. 18 tahun 2021 bunyinya sebagai berikut:
“Pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”