Penafsiran Pancasila memunculkan tuduhan Pancasila sudah diselewengkan dan dikhianati
Malapetaka 1965 berakibat perubahan "pendongeng" Pancasila dalam arus kekuasaan dan tafsir politis. Semula, Pancasila rajin diucapkan dan dituliskan oleh Soekarno dalam pidato, kursus, seminar, artikel, dan buku. Soekarno serius dan rajin mengartikan Pancasila dalam pelbagai peristiwa di Indonesia.
Masa sebagai "pendongeng" Pancasila ingin diakhiri Soeharto melalui pendirian rezim Orde Baru. Soeharto memberi predikat diri sebagai penafsir ulung Pancasila, tak terlalu menggubris warisan-warisan pemikiran dan tafsir Soekarno.
Pada 12 Maret 1967, Soeharto berpidato dalam sidang penutupan MPRS. Soeharto memberi sambutan selaku Pejabat Presiden: "Sidang Istimewa MPRS ini adalah manifestasi kekompakan Orde Baru, manifestasi kemenangan Orde Baru, sebab Orde Baru tidak lain adalah tata masjarakat jang djustru akan kita letakkan kembali pada kemurnian pelaksanaan Pantjasila dan Undang-Undang Dasar 1945."
Soeharto mulai menegakkan rezim Orde Baru berpatokan Demokrasi Pancasila. Sebutan Orde Baru menghendaki masa kekuasaan Soekarno dijuluki "Orde Lama." Nalar politik bertentangan dimaksudkan memuliakan biografi politik Soeharto. Pancasila jadi penentu perbedaan menjalankan amanat kekuasaan.
Soeharto berlagak paling mengerti Pancasila. Peralihan "pendongeng" Pancasila berlatar kisruh politik mengandung licik dan manipulasi. Soeharto menjelaskan: "Hanja dengan persatuan dan kesatuan semua kekuatan Pantjasila-lah, maka Sidang Istimewa MPRS ini dapat berhasil. Perpetjahan antara kita sesama kekuatan Pantjasila hanja akan menghasilkan bentjana, sebab dalam keadaan perpetjahan itu, sisa-sisa kekuatan G-30-S/PKI akan mengambil keuntungan-keuntungan."