Kolom

Pandemi komunikasi elite

Sejak helatan Pemilu 2014, dan diteruskan di 2019, persoalan bangsa ini adalah komunikasi, dari elite hingga masyarakat biasa.

Senin, 27 April 2020 12:59

Hari-hari ini konstelasi sosio-politik tanah air diriuhkan dengan perang kosakata, pemantiknya, dialog Presiden Joko Widodo dengan pewawancara senior Najwa Shihab, memperebutkan pembenaran jika mudik dan pulang kampung, berbeda. Disebut konstelasi sosio-politik, karena diksi yang diperdebatkan berimbas pada masyarakat, pun bersinggungan dengan kebijakan; larangan mudik.

Kondisi yang tidak esensial ini semakin membumbung, menjadi isu nasional, bahkan staf kepresidenan Donny Gahral Adian sibuk turun lisan menjelaskan maksud dari lontaran Presiden. Sedemikian daruratkah penggalan wawancara tersebut? Tentu saja, selain karena Presiden yang mengutarakan, juga terkait langsung dengan kepatuhan publik terhadap kebijakan larangan mudik.

Axel Westerwick, Benjamin K. Johnson, dan Silvia Knobloch-Westerwick dalam jurnalnya berjudul Confirmation Biases in Selective Exposure to Political Online Information: Source Bias vs Content Bias (2015) menguraikan, jika sebuah informasi politik didistribusikan oleh sumber dan materi yang bias, maka publik sulit menerima pesan meskipun telah berulangkali mencoba memahaminya.

Dari uraian ini, sebuah riset akademik telah memberikan formulasi, jika Presiden ingin menyampaikan pesan yang sangat penting dan berharap ada kepatuhan –memiliki nilai dipercaya—, seharusnya tidak membuat cara penyampaian menjadi buram, sehingga mengaburkan esensi materi pesan. Dengan lebih ringkas, jika kebijakan yang hendak disampaikan ke publik adalah larangan mudik, maka jangan membuat celah bagi publik untuk menerima definisi lain sebagai dalih menghindari pesan utama.

Kontekstual

Dedi Kurnia Syah P Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait