Raden Saleh bukan hanya dikenal sebagai pelukis, tetapi juga tokoh terhormat di mata pribumi
Raden Saleh di Frankurt, Jerman. Pada 15 Oktober, komik bertokoh Raden Saleh buatan Werner Kraus dan tiga ilustrator diluncurkan dalam Frankfurt Book Fair 2019. Komik semakin mengenangkan Raden Saleh di Jerman.
Pelukisan kondang itu memang berasal dari Jawa tapi memiliki biografi sebagai pengelana di Eropa. Jerman menjadi tempat penting untuk memikat Eropa atas lukisan-lukisan Raden Saleh. Pada 2019, Raden Saleh berada lagi di Jerman dan ingin memikat Eropa berwujud komik. Kita memuji saja meski komik dikerjakan penulis asal Jerman telah menerbitkan buku dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018).
Siapa penulis awal mengenai sosok Raden Saleh? Kita tentu harus melacak pelbagai surat kabar dan buku lawas untuk menemukan tulisan bersejarah. Di Medan Prijaji nomor 8, Sabtu, 8 Februari 1910, kita bisa membaca esai kecil berjudul "Raden Saleh" garapan Tirto Adhi Soerjo. Raden Saleh sudah diakui sebagai tokoh terkenal. Alinea awal dalam esai: "Pada memandang portret Raden Saleh sebagi jang terloekis dalam Medan Prijaji ini ta perloe ditjaritakan pandjang siapakah bilau itoe kerana masing-masing pembatja kami kenal blaka siapa bilau. Dengen memuat bilau poenja portret di sini, kita akan menjatakan, bahwa di loear doenia kaprijajian, bangsa kita djoega poenja kemashoeran dan kehormatan serta nama..." Raden Saleh dianggap tokoh terhormat di mata pribumi, terkenal di dunia sebagai pelukis.
Di halaman Medan Prijaji pembaca bisa memandang potret Raden Saleh dalam posisi berdiri, mengenakan busana eksentrik dan berkopiah. Rambut agak panjang. Wajah anggun, tatapan mata tajam. Pihak redaksi tak mencantumkan keterangan sumber atau pembuat potret.
Di bawah potret, ada kalimat pengakuan: "Pertama kali orang Djawa jang dapet kemashoeran antero doenia akan kepandaiannja menggambar dengan tangan." Esai kecil itu sengaja menokohkan Raden Saleh untuk menghajar ambisi kaum bumiputra: bermimpi menjadi "prijaji makan gadjih boeta" alias "djongos" bagi pemerintah kolonial. Raden Saleh lebih terhormat dan mulia ketimbang para "prijaji" bermisi mata duitan dan tukang kawin. Tirto Adhi Soerjo tak membahas seni rupa tapi pengakuan atas Raden Saleh sebagai tokoh penting dan teladan bagi kaum bumiputra.