Sayang sekali, pernyataan Ketua Bawaslu yang terkesan ingin cuci tangan itu, semakin menjelaskan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.
Pernyataan Ketua Bawaslu Rahmad Bagja yang menyatakan, tidak ada nomenklatur kecurangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang ada pelanggaran, menimbulkan polemik. Dalam dialog di salah satu stasiun televisi, Bagja menyatakan, kecurangan merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat.
Secara normatif, pernyataan Ketua Bawaslu RI itu tidak salah, karena memang dalam UU Pemilu tidak ditemui kata "kecurangan" yang banyak ditemui adalah nomenklatur pelanggaran.
Nomenklatur kecurangan hanya disebut dalam penjelasan Pasal 286 ayat (3) untuk memberikan penjelasan mengenai makna terstruktur, sistematis, dan masif. Disebutkan dalam penjelasan tersebut: "Yang dimaksud dengan pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat
pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama."
Norma dalam penjelasan UU Pemilu itu, kemudian digunakan dalam Peraturan Bawaslu No.8/2022, Pasal 56 ayat (2), "Terstruktur, sistematis, dan masif dalam pelanggaran administratif pemilu. TSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah atau penyelenggara pemilu secara kolektif atau secara bersama-sama.
Penjelasan Pasal 286 dan Perbawaslu itu, secara jelas dan gamblang menyebut, kecurangan yang bersifat terstruktur "hanya" dapat dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu secara bersama-sama.