Kolom

Pengungkap masa lalu

Tidak sedikit yang membayangkan atau melukiskan citra kepemimpinan yang didambakan oleh masyarakat pada zamannya.

Senin, 25 November 2019 19:56

Pada umumnya, manusia Indonesia modern tidak kenal lagi akan sastra lama, tak pernah membacanya, bahkan tidak pernah mendengar namanya kecuali apa yang didapatnya dari sekolah melalui pelajaran sastra lama. (Achadiati Ikram,1997)

Borobudur Writers & Cultural Festival 2019 memberi penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan kepada Achadiati Ikram. Orang-orang mengenali sebagai tokoh berkutat di filologi. Ia memang hidup dengan naskah-naskah lama. Pembaca di "sepi" dan mengauk misteri di tulisan-tulisan jarang terbaca publik. Ia mengisahkan dan menafsirkan ke pembaca berjumlah sedikit.

Hari demi hari, menempuh jalan naskah tak membuat jemu atau patah. Achadiati Ikram malah memberi tulisan-tulisan di pelbagai majalah dan buku mengundang kita menjadi pembaca meski berpengetahuan terbatas di urusan bahasa, sastra, agama, dan sejarah.

Pada 2 Maret 1985, Achadiati Ikram memberi pidato pengukuhan guru besar di Universitas Indonesia. Ia membeberkan kepemimpinan dalam sastra Indonesia lama. Ketekunan "bersantap" naskah beragam bahasa memberi petunjukan ajaran-ajaran masa lalu tentang kepemimpinan. Achadiati Ikram mengatakan: "Ilmu kesusastraan dan foklor keduanya meneliti segi kebudayaan, dan khususnya filologi, yang merupakan bidang saya, bertugas mengkaji isi kesusastraan tertulis.

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia lama yang begitu luas, tidak sedikit yang membayangkan atau melukiskan citra kepemimpinan yang didambakan oleh masyarakat pada zamannya." Tiga naskah dipilih di pembahasan kepemimpinan: Hikayat Pocut Muhamat, Hikayat Sri Rama, dan Serat Panji Jayakusuma.

Bandung Mawardi Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait