Diakui atau tidak, selama satu dekade terakhir penurunan angka kemiskinan yang amat lambat salah satunya karena inflasi pangan masih tinggi.
Bank Indonesia (BI) dalam rapat 20-21 Juli 2022 mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50%. Padahal, inflasi tahunan (total) sampai Juni 2022 sudah mencapai 4,35%, lebih tinggi dari batas atas dan suku bunga kebijakan BI yang dipatok 3,5%. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir. Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi inti, yang masih rendah. Hanya 2,63%. Inflasi inti adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten. Tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif, seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).
Komponen inflasi inti memang rendah. Sebaliknya, inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) sudah mencapai 5,33%. Bahkan, inflasi pangan (volatile foods) menembus 10,07%. Kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuan sepertinya bias inflasi inti. Padahal, selama bertahun-tahun inflasi inti relatif terkendali. Juga inflasi komponen administered prices. Setahun ini inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah lumayan tinggi karena ada penyesuaian harga beberapa komoditas strategis kebutuhan rakyat, seperti BBM, LPG, dan listrik untuk menekan beban fiskal.
Besarnya andil inflasi pangan juga terbaca dari inflasi pada 2022. Dari (total) inflasi tahun berjalan (Januari-Juli) 3,85% andil inflasi inti hanya 2,11%. Sedangkan andil komponen administered prices dan volatile foods masing-masing mencapai 5,13% dan 9,24%. Khusus Juli 2022, inflasi mencapai 0,64%. Inflasi pangan tinggi di Juli disumbang sejumlah komoditas, seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras. Ada pula sumbangan pangan asal impor: terigu, gula, dan kedelai.
Inflasi pangan yang tinggi menjadi mimpi buruk bagi warga mikin.
Di satu sisi, inflasi naik didorong oleh kenaikan harga pangan. Di sisi lain, kemampuan memenuhi kebutuhan pangan menjadi indikator utama penentuan garis kemiskinan. Ujung dari ini, kenaikan laju inflasi akan menyundul batas garis kemiskinan. Implikasinya, inflasi yang tinggi, terutama yang didorong oleh inflasi pangan, tidak hanya membuat warga yang ada di dalam di garis kemiskinan semakin miskin. Warga yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan pun akan turun kelas: dari tidak miskin menjadi golongan miskin.
Diakui atau tidak, selama satu dekade terakhir penurunan angka kemiskinan yang amat lambat salah satunya karena inflasi pangan masih tinggi. Pada September 2012, jumlah orang miskin mencapai 28,71 (11,66%). Jumlah ini turun jadi 26,16 juta (9,54%) pada Maret 2022. Artinya, sepanjang hampir 10 tahun jumlah orang miskin hanya turun 2,55 juta. Ini penurunan yang kecil. Jumlah orang miskin tidak turun signifikan salah satunya karena pola pengeluaran rumah tangga masih dominan pangan: 74,08% dari pengeluaran rumah tangga pada Maret 2022. Hanya 25,92% pengeluan nonmakanan.