Kolom

Puan Maharani: Puisi dan gelar

Buku besar, tebal, dan mewah berjudul 123 Puisi Perempuan Indonesia (2011) memuat sebiji puisi gubahan Puan Maharani Soekarno Putri.

Rabu, 19 Februari 2020 18:57

Para leluhur bijak memberi nasihat ke anak-cucu agar jangan gampang kagetan. Segala petunjuk diberikan untuk membentuk anak-cucu mengalami dan mengerti segala hal tanpa tergesa membuat tuduhan atau simpulan. Ketenangan dan kematangan memikirkan segala hal menjadikan orang insaf atas pelbagai kejadian. Ia pun bakal mengasihi orang lain dengan mengurangi tumpukan curiga dan fitnah. Para leluhur memang menghendaki kita menjadi orang beradab meski sulit dan rumit.

Dulu, para penikmat sastra memiliki daftar pendek penggubah puisi berjenis kelamin perempuan. Mereka mengingat Rukiah, Isma Sawitri, Dorothea Rosa H, Oka Rusmini, dan lain-lain. Daftar itu terus bertambah meski sekian penulis belum terlalu dikenali atau mendapat tempat dalam kesusastraan Indonesia. Pada suatu masa, ada kerja muluk demi membuktikan 123 perempuan Indonesia adalah penggubah puisi. Mereka memiliki beragam profesi. Sekian tokoh sudah kondang. Kita mengenali mereka di politik, bisnis, industri hiburan, dan lain-lain. Daftar nama di perpuisian bertambah tanpa wajib kita membuat esai atau resensi untuk puisi gubahan mereka.

Buku besar, tebal, dan mewah berjudul 123 Puisi Perempuan Indonesia (2011) memuat sebiji puisi gubahan Puan Maharani Soekarno Putri. Kita lekas mengetahui beliau adalah anak Megawati Soekarnoputri. Beliau itu cucu Soekarno. Di jagat politik Indonesia, nama Puan Maharani semakin moncer dan dianggap berpengaruh besar di partai politik. Publik menduga beliau bakal menjadi tokoh (ter)penting di jalan sudah ditempuhi kakek dan ibu. Pada suatu hari, Puan Maharani menggubah puisi. Ia sadar telanjur dicap manusia politik tetapi menggubah puisi adalah hak berdalih estetika.   

Kita ingat pesan leluhur: jangan kagetan. Puan Maharani berpuisi itu lumrah, setelah menggerakkan kata-kata dalam pidato atau percakapan politik. Orang berhak menduga kesanggupan menggubah puisi sudah dimiliki Puan Maharani sejak bocah. Ia sengaja tak sibuk di kesusastraan, memilih menempuhi jalan besar bernama politik. Di jalan bergelimang hasrat dan konflik, ia mungkin ingin melembutkan dan mengindahkan melalui puisi. Kita membaca puisi berjudul "Darahku, Panggilanku" gubahan Puan Maharani: terbangun aku tengah malam/ hati berdetak tak menentu/ terdengar teriakan mereka/ makin kututup kupingku semakin nyata// "Aku melihat Indonesia," kata Eyangku/ mengalir darahnya di nadiku/ mengalir semangatnya di jiwaku. Dua bait sederhana. Di situ, ada biografi pewarisan tekad mengabdi dan memuliakan Indonesia. Puisi menggugah nasionalisme, bukan asmara picisan atau berlagak mengagumi Indonesia molek.

Pada 2011, Puan Maharani belum menjadi menteri di Kabinet Indonesia Kerja bentukan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Puan Maharani juga masih jauh dari predikat sebagai Ketua DPR. Di partai politik, beliau sudah kondang dan memiliki kekuasaan. Ia telah mendapat tempat sebagai penggerak politik dengan pengaruh kebesaran ibu dan kakek. Di pelbagai peristiwa politik, Puan Maharani sering tampak tetapi jarang memberi kata-kata menjadi berita. Beliau belum memerlukan menulis sekian artikel tersaji di koran atau majalah sebagai ejawantah kehendak berpolitik. Ia masih belum mewarisi secara utuh tentang keranjingan membaca-menulis dari Soekarno. Berpolitik itu kesibukan hampir setiap hari. Puan Maharani menetapkan diri sebagai penggubah puisi. Ia mungkin menulis puluhan puisi. Di buku tebal, jatah setiap tokoh cuma sebiji puisi.

Bandung Mawardi Reporter
Hermansah Editor

Tag Terkait

Berita Terkait