Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta, meraba-raba guna menemukan jurus menjinakan sengkarut minyak goreng.
Ada dua tujuan utama kala pemerintah mereformulasi tata niaga minyak goreng: ketersediaannya melimpah dan harganya terjangkau oleh masyarakat (umum). Tata ulang dilakukan pemerintah tatkala harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan, melambung tinggi di pasar. Harga minyak goreng naik tinggi sejak September 2021.
Ini terkait kenaikan harga minyak nabati di pasar dunia, termasuk minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng di Indonesia. Sebagai gambaran, Januari 2019 harga CPO masih US$537/ton, tetapi pada Maret 2022 melambung US$1.823/ton (naik 3,4 kali).
Sebelum beleid satu harga Rp14.000/liter untuk semua jenis minyak goreng pada 19 Januari 2022 (Permendag 3/2022), tata niaga minyak goreng adalah open trade dan open market. Karena bersifat terbuka, apa yang terjadi di pasar dunia langsung ditularkan ke pasar domestik. Ketika harga bahan baku minyak goreng melambung tinggi, harga minyak goreng otomatis juga melompat tinggi. Sepenuhnya berlaku mekanisme pasar. Tak peduli Indonesia produsen dan eksportir sawit dunia nomor wahid. Satu-satunya rem guna memastikan harga (dan pasokan) domestik adalah pajak ekspor. Rem ini tak efektif.
Pemerintah, sebagai pemegang mandat dari negara, mencoba hadir untuk rakyat agar daya beli terhadap minyak goreng terjaga. Lewat Kementerian Perdagangan, aneka jurus diracik sejak Nopember 2021. Tidak kurang belasan jurus dibuat dan dieksekusi. Mulai dari wajib pasok kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO), wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO) CPO dan olein, kebijakan satu harga, subsidi dan BLT minyak goreng, harga eceran tertinggi (HET) hingga pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Namun, semua jurus tampak masih belum cespleng.
Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta: meraba-raba guna menemukan jurus menjinakan sengkarut minyak goreng. Tampak bagaimana masyarakat jadi kelinci percobaan kebijakan coba-coba, trial and error, dan tidak berbasis evidence. Bukannya tertangani, karut-marut justru kian meruyak. Apalagi, pada awal tata ulang dilakukan pemerintah memborong dua fungsi sekaligus: regulator dan operator. Selain rawan konflik kepentingan, kala kebijakan tak efektif pemerintah jadi sasaran hujatan.