Kehumasan tak sekedar sarana penyebaran informasi namun juga ruang untuk hubungan komunikasi hingga partisipasi diskusi.
Media berita daring setidaknya sebulan terakhir kerap mengulas soal keberadaan influencer. Sebuah praktik kehumasan yang baru tetapi lama, atau sebaliknya lama tetapi baru, dalam lanskap public relations tanah air. Netizen seperti biasa terbelah menyikapinya penuh kegaduhan.
Hal ini diwali dari padanan istilah menarik yang dimunculkan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada risetnya 20 Agustus. Istilah tersebut adalah Rezim Humas Influencer. Melalui risetnya, ICW menulis belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital (influencer, key opinion leader, komunikasi, media sosial, Youtube) periode 2014-2020 sebesar Rp1,29 triliun dengan total 133 paket pengadaan pada 34 kementerian, 5 LPNK, dan 2 institusi penegak hukum.
Riset tersebut mencuat antara lain dengan mudahnya kita temukan influencer/pemengaruh yang demikian serempak dan total mendengungkan sebuah tagar, hingga peristiwa baru permintaan maaf influencer Ardhito Pramono pada kampanye kehumasan yang dibuat tanpa dia faham kontennya.
Di mata penulis, ada dua situasi yang membuat hal ini jadi fenomena mutakhir. Setelah puluhan tahun lamanya kehumasan konvensional lazim menitikberatkan media relations, kini kian marak dan mudah ditemukan humas pemerintah/swasta bekerjasama dengan pemengaruh di media digital.
Pertama, rezim humas influencer juga menandakan premis Lucian dalam Ismail (2018). Bahwa di era hyperconnected ini, informasi yang dirilis termasuk dari influencer, telah menjadi salah salah satu unsur penentu kehidupan bahkan menjadi kebutuhan pokok masyarakat.