Mereka yang menyerukan pemisahan antara sepak bola dan politik tidak menyadari bahwa seruannya itu bentuk sekularisasi.
Pada akhirnya, FIFA membatalkan perhelatan Piala Dunia Sepak Bola U-20 di Indonesia. Publik sepak bola geger, merasa sedih, kecewa bahkan geram dengan pembatalan oleh FIFA ini.
Kegeraman publik bukan diarahkan kepada PSSI sebagai penyelanggara, melainkan kepada PDI Perjuangan, khususnya I. Wayan Koster dan Ganjar Pranowo yang dianggap menjadi biang kerok pembatalan ini kerena menolak Timnas Israel bermain di Indonesia.
Publik menilai politisi PDI Perjuangan telah mempolitisasi sepak bola demi kepentingan politik sesaat. Padahal sepak bola harus dipisahkan dari politik. Timnas Israel datang ke Indonesia bukan untuk berpolitik, melainkan untuk pertandingan olah raga! Harus dibedakan antara Israel sebagai negara yang melakukan agresi dan kolonisasi Palestina dengan tim sepak bola. Pertanyaannya, apakah Timnas Israel datang ke Indonesia mawakili NGO atau ormas di Israel?
Everything is politics, kata Thomas Mann. Everything is political, diungkapkan Paul Krugman. Di mata mereka yang politis bukan semata perkara bentuk pemerintahan, pemilu, partai politik dan sejenisnya, namun juga segala hal tentang hidup manusia di dunia.
Pandangan mereka ada benarnya. Kita manusia ini produk politik. Kita terlahir ke dunia melalui proses politik, yaitu persenggamaan. Persenggamaan adalah praktik sekaligus relasi politik yang paling primordial yang dilakukan ibu dengan bapak kita. Sebagian kita terlahir melalui persenggamaan atas dasar subordinasi bahkan koersi (keterpaksaan). Sebagian lagi terlahir dari persenggamaan atas dasar kesepakatan yang intim. Buah dari percintaan transformatif dan keintiman demokratik! Begitu kira-kira yang dikatakan Giddens.