Sayangnya, publik tidak mendapatkan pemaparan platform, agenda setting dan strategi konkret untuk menekan angka stunting.
Stunting, yang dalam bahasa Jawa disebut kuntet (kerdil), sempat jadi ajang laga ide antara Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno dalam debat cawapres, 17 Maret lalu. Sayangnya, publik tidak mendapatkan pemaparan platform, agenda setting dan strategi konkret untuk menekan angka stunting. Sebaliknya, keduanya lebih senang unjuk seni berpidato dan bermain retorika. Bukan beradu gagasan. Publik pantas kecewa karena tidak mendapatkan pendalaman yang memadai yang bakal jadi rujukan memilih.
Ditilik dari sisi isu, stunting amat ideal mendapatkan pendalaman karena tiga hal. Pertama, stunting adalah salah satu dari dua isu kesehatan terpopuler di Google Trends. Salah dua yang lain adalah isu Jaminan Kesehatan Nasional, lebih spesifik soal BPJS Kesehatan. Kedua, dari sisi tata kelola, kantor Sekretariat Wakil Presiden memegang komando kolaborasi 23 kementerian/lembaga dalam hal pencegahan stunting. Ketiga, solusi stunting memerlukan detail kebijakan yang pelik dan tidak instan (Meilissa, 2019).
Dari sisi penguasaan materi, Ma’ruf patut mendapatkan apresiasi. Ia menerangkan periode kritis pertumbuhan anak terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun. Ketika pada periode emas ini anak tidak mendapatkan asupan gizi memadai, apalagi jika berlangsung lama, stunting bakal terjadi.
Karena itu, Ma’ruf mempertanyakan efektivitas program Sedekah Putih yang ditawarkan Sandi. Program Sedekah Putih, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas, mengundang masyarakat luas untuk menyumbang susu, kacang hijau dan sumber protein lainnya. Bagi dia, program pemberian susu setelah anak berusia dua tahun langkah menyesatkan.
Pemerintah, menurut Ma’ruf, mestinya melanjutkan program pemberian bantuan pangan bergizi, sanitasi dan air bersih serta edukasi kesehatan remaja. Paduan program ini dinilai sukses menekan angka prevalensi stunting nasional, dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Meskipun menurun, tapi angka stunting masih besar, jauh di atas standar WHO: 20%. Padahal, anggaran guna menekan stunting tidak kecil. Investasi pemerintah pusat, daerah dan desa hanya untuk program nutrisi mencapai Rp51,9 triliun (2017).