Dalam memenuhi tujuan hukum melalui putusan hakim, ada sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum.
Membaca pemikiran teman saya sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr HM Syarifuddin, SH, MH, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dengan judul: ‘Pembaruan Sistem Pemidanaan dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heuristika Hukum’, mencerminkan kematangan pemikiran sebagai buah hasil pergumulan mencari dan menemukan jawaban atas setiap permasalahan hukum yang ujungnya adalah penjatuhan putusan oleh hakim.
Pekerjaan hakim tersebut sebagaimana diuraikan secara lugas dalam pidato pengukuhan tersebut, yakni upaya untuk menyelaraskan hukum dan keadilan melalui kegiatan menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara. Puncaknya adalah menjatuhkan pidana, sebagai kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan (Syarifuddin, 2021: 06).
Dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menyadari bahwa terdapat suatu problematika klasik yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan sebuah tantangan dalam dunia praktik. Hal yang dimaksud adalah dalam hal disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum sama. Adanya kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan. Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi (Langkun, 2014: 2).
Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini semakin melebarkan jarak antara ekspetasi masyarakat terhadap putusan hakim dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Meminjam pandangan Gustav Radbruch, bahwa terdapat setidaknya tiga tujuan hukum, yakni keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum.
Dalam mewujudkan tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan perlu menggunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Di antara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1. Keadilan Hukum; 2. Kemanfaatan Hukum; 3. Kepastian Hukum (Erwin, 2012: 123).
Urutan yang demikian menunjukan bahwa demikian pentingnya posisi keadilan dalam setiap penjatuhan putusan. Namun tidak berhenti sampai di situ, keadilan juga harus membawa manfaat bagi seluruh pihak, dan pada akhirnya keadilan dan kemanfaatan tersebut dibulatkan melalui bentuk sebuah putusan yang mencerminkan terpenuhinya kepastian hukum.
Dengan jalan pikiran yang demikian, maka putusan hakim tidak sekedar menjadi sebuah dokumen hukum yang mencerminkan ‘aura’ kepastian hukum di dalamnya, tetapi dalam setiap lembar, setiap pertimbangan, dan setiap argumentasi yang terurai dalam membentuk sebuah putusan, di dalamnya terdapat sinar-sinar keadilan hukum yang memandu setiap aliran pikiran yang pada akhirnya turut membawa kemanfaatan hukum.