Masih banyak masyarakat yang enggan untuk memastikan desain bangunan rumahnya tahan gempa sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Tanah air Indonesia dan bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan. Kejadian bencana yang merenggut nyawa dan kehidupan masyarakat tersimpan dalam cerita-cerita lisan, hikayat dan dongeng, hingga catatan ilmiah modern. Bencana turut membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat mencoba memanfaatkan akal pikirannya untuk mengendalikan bencana.
Di masa lampau, ketika rumah-rumah masih terbuat dari kayu. Gempa bumi boleh saja berguncang keras, namun tidak mengakibatkan korban jiwa yang besar. Rumah-rumah tetap berdiri tegak mengikuti irama gempa, justru karena keterbatasan teknologi dan sumberdaya di masa tersebut.
Di Mentawai misalnya, dahulu kala gempa dimaknai sebagai berkah yang akan membawa kebaikan. Diantaranya bertumbuhnya buah-buahan serta jejamuran. Gempa dipersonifikasi sebagai kakek, atau tupai, atau cucu. Gempa pun misalnya, tidak selalu dimaknai sebagai sesuatu yang menakutkan. Jadi, masyarakat sangat akrab dengan bencana, tapi tidak serta-merta mengkonstruksi budaya antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya kembali bencana di masa datang.
Perspektif atau cara pandang masyarakat di masa lampau atas bencana atau bahaya dapat dicermati ketika masyarakat menggunakannya dalam bahasa-bahasa lokal, misalnya bahayo (Minang), bala (Aceh), perri’ (Bugis), mamala (Sunda), atau beboyo (Jawa).
Namun yang menarik, mencari padanan kata ‘risiko’ dalam bahasa daerah ternyata tidak mudah. Artinya, setiap kejadian dianggap selesai, tanpa diperhitungkan kemungkinan terjadi lagi bencana di masa datang. Kendatipun agama memperkenalkan kata ‘ikhtiar’ misalnya, hal ini tidak serta merta dapat membentuk masyarakat dalam budaya antisipatif terhadap bencana.