Fenomena menguatnya komersialisasi tubuh perempuan sebagai objek, telah menemukan akarnya dari zaman silam.
*Aktivis perempuan, penulis, penerbit buku, dan produser film dokumenter perempuan. Salah satu panitia awal pendiri Koalisi Perempuan Indonesia.
Mengapa tubuh perempuan masih menjadi fokus dalam berbagai pemberitaan? Beberapa waktu lalu, debat panjang menghiasi media soal pelarangan pemakaian cadar di kampus UIN Sunan Kalijaga. Dua perempuan asal Aceh juga dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik, Lueng Bata pekan lalu, karena terbukti menjadi pekerja seks komersial (PSK). Rina Nose bahkan sempat ramai-ramai dihujat dalam framing media, hanya karena menanggalkan hijabnya.
Fenomena menguatnya komersialisasi tubuh perempuan sebagai objek, telah menemukan akarnya dari zaman silam. Sejak dulu, tubuh perempuan sudah dianggap sebagai objek, pemandangan, bahkan hiasan. Kalau tidak percaya, coba cek cerita dari zaman kerajaan-kerajaan di nusantara ini. Perempuan yang pada zamannya menjadi permaisuri, putri, atau ratu, tidak ada yang tidak dihias dengan pakaian berlapis, hiasan rambut, jubah gemerlap, make-up, dan ritual adat lainnya. Bahkan penampilan perempuan menjadi bagian dari prestis.
Hal itu dijelaskan dengan sangat baik oleh filsuf Perancis Simone Beauvoir. Menurut kekasih Sartre itu, perempuan sejak lama selalu dianggap sebagai “yang lain” atau (gender) yang kedua, seperti tertuang dalam “The Second Sex” (1949). Kalau laki-laki itu utama, gagah, perkasa, kuat, berwibawa, memberi nafkah, menjaga dan posisi di atas.
Sebaliknya, perempuan dituntut untuk ayu, manis, menerima, mengerti laki-laki, merawat rumah, dan menduduki posisi subordinat di bawah laki-laki. Ketika posisi ini dipertegas, maka perempuan harus berpakaian, bergerak, berinteraksi, dan bersuara sesuai dengan posisinya.