Menjaga hak kreditur ini, sebenarnya menjadi prioritas daripada memprioritaskan aspek kehati-hatian.
Melalui Putusan Nomor 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN-Niaga.Jkt.Pst, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Lukman Wibowo, salah satu nasabah Asuransi Jiwa Kresna.
Lukman yang menjadi nasabah Kresna merasa dirugikan atas program asuransi yang terhubung dengan investasi milik Kresna Life, sehingga uang pertanggungan sebesar dua miliar rupiah tak kunjung bisa dicairkan sampai permohonan PKPU diajukan.
Putusan yang diucapkan pada 10 Desember 2020 tersebut, bagaimapun wajib di hormati sebagai perwujudan atas asas hukum ‘res iudicata pro veriate habetur’ (putusan Hakim harus dianggap benar). Namun di sisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), disebutkan bahwa; yang dapat mengajukan permohonan PKPU untuk Perusahaan Asuransi adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Di sinilah menariknya, bahwa Pemohon PKPU bukanlah OJK. Pemohon mendalilkan atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan Pasal 6 ayat 3 dan Pasal 224 ayat 6 sepanjang menyangkut kata pada ayat 3 UU Nomor 38 Tahun 2004 ‘tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat’. Namun, saya tidak akan mengomentari perihal putusan pengadilan tersebut, sebagai bentuk penghormatan terhadap pengadilan.
Yang justru menjadi pelajaran adalah, bahwa sudah banyak perusahaan asuransi yang mengalami gagal bayar terhadap nasabahnya terkait Produk Asuransi Yang dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI). Selain Kresna di atas, beberapa perusahaan yang masuk daftar gagal bayar di antaranya adalah, Jiwasraya di 2020, Asuransi Jiwa Bumiputera di 2018, Bakrie Life di 2016, Bumi Asih Jaya di 2013.