Menurut Heru, iklan yang jahat adalah fabrikasi hoaks. Ini kejahatan disinformasi.
Informasi palsu atau hoaks memiliki dampak destruktif. Seiring perkembangannya, bentuk lain dari hoaks pun bermunculan. Ditengarai iklan digital (programmatic ads) yang muncul di laman-laman media online banyak mengandung hoaks. Ini agak berbeda dari iklan yang muncul dari media sosial, WhatsApp, dan lainnya. Konten hoaks yang tampil di media daring jadi dilema.
Kondisi ini tentu dapat menurunkan kredibilitas media, meskipun konten tersebut tidak diproduksi oleh media tersebut. Berbagai pihak perlu upaya untuk mencari solusi bersama dari problem saat ini. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) telah membahas ekosistem informasi terkait problem iklan yang mengandung hoaks seperti ditayangkan, Selasa (15/2).
Kanal AMSI Asosiasi Media Siber Indonesia di Youtube menyiarkan Focus Group Discussion dalam rangkaian Indonesia Fact-Checking Summit 2021 dengan tema Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/Disinformasi.
Diketahui kondisi sekarang tren model bisnis mengandalkan impresi. Semakin tinggi klik, semakin tinggi pendapatan. Dalam kondisi saat ini, seolah-olah perusahaan dibuat dalam kondisi tidak punya pilihan selain menerima iklan programmatic ads. Dilemanya kemudian perusahaan media dihadapkan kondisinya apakah menolak iklan, tapi di sisi lain ada potensi hilangnya opportunity cost atau pendapatan. Atau menutup mata pada akurasi tren iklan yang muncul, yang berpotensi menurunkan kredibilitas media itu sendiri. Mungkin hal itu tidak signifikan terhadap media mapan.
Tapi pertanyaaannya, bagaimana dengan media yang belum mapan? Lalu kemudian siapa yang bertanggung jawab dalam persoalan ini? Upaya apa atau langkah strategis apa yang akan dilakukan?