Khusairi menilai adalah hak dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk membantah
Pelajaran yang dapat diambil dari liputan investigasi majalah TEMPO bertajuk 'Kantong Bocor Dana Umat', edisi 4-10 Juli 2022, menunjukkan bahwa jurnalisme belum mati. Pandangan itu diuraikan Abdullah Khusairi, pakar komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, dalam wawancara dengan Alinea, Jumat (8/7).
"Kita butuh banyak yang serupa TEMPO, baik itu konsentrasinya ke lembaga publik yang dimiliki oleh pemerintah maupun lembaga publik yang tidak dimiliki oleh pemerintah (swasta)," kata dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
"Bagaimanapun juga," tambahnya, "Setiap lembaga yang memiliki kepentingan terhadap publik harus kita kontrol. Jangan absolut."
Khusairi menilai adalah hak dari Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk membantah. Tapi sebenarnya dari laporan TEMPO bisa terlihat bahwa ada kerusakan yang sangat luar biasa dalam dunia filantropi jika tidak dibongkar.
"Ada banyak filantrofi yang, saya kira, sudah lolos dari (pemeriksaan) akuntan publik tapi ternyata bisa dipermainkan juga. Artinya, berladang di punggung korban yang harus dibantu, saya kira begitu, itu pekerjaan yang paling bejat," tegasnya.
Menurut Khusairi, sungguhpun orang tahu bahwa tidak begitu parah kerusakan itu. Karena yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga filantrofi adalah kepercayaan (trust), yaitu sama dengan media sebenarnya.
"Nah, berita-berita dotcom kok bisa dipercaya? Kenapa? Karena mereka memiliki transparansi yang luar biasa hebat dan terukur," Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol itu berseru.
Khusairi mengaku punya pengalaman juga dengan ACT dalam bencana gempa di Pariaman tahun 2009. Sebenarnya, itu tadi, apa yang dikatakan TEMPO membenarkan asumsi dia selama ini.
"Orang ternyata berlindung di balik narasi keagamaan, narasi kemanusiaan, bisa meraup kepercayaan publik dan meraup untung lebih dari apa yang semestinya didapatkan. Sesuatu yang lebih 'kan biasanya akan sangat berbahaya? Mereka akan menerima dampaknya," ujar mantan Humas tim pendukung teknis BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Khusairi menengarai, bertumpuknya persoalan dari ACT selama ini tidak ada tempat untuk membongkar dan tidak ada pengawas yang tepat. Selama ini akuntan publik yang dianggap andal ternyata dapat kebobolan dengan mengakali aturan, yang dimodus licik juga, melalui berbagai anak perusahaan lainnya.
Pengarang buku 'Sulteng Bangkit' tentang gempa dan tsunami Palu 2018 itu mengaku kenal secara pribadi dengan beberapa pengurus ACT di Sumatera Barat. "Teman-teman filatropi kita juga," katanya.
Tapi dipandangnya mereka kurang menyadari tentang ideologi yang dipakai, apa patronase politik, dan lainnya. "Akhirnya kita jengah sendiri. Saya sebagai orang kampus keagamaan cukup menyayangkan juga (kasus ini). Orang-orang ACT kadang-kadang tidak membuka ruang diskusi. Ketika sudah pecah seperti ini, kita sayangkan," sesalnya.
Menyinggung selentingan suara minor publik bahwa berita investigasi ACT ini akan melintir menjadi urusan politis, Khusairi menyikapinya dengan bijak.
"Kalau kita membaca rantainya memang akan bisa begitu. Dan akan digiring ke situ (politis) oleh siapapun yang merasa dirugikan. Mungkin oleh lawan politik dari pihak tertentu, bisa saja sebenarnya," pungkasnya.