Artikel VOA mengutip seorang sumber di salah satu perusahaan telekomunikasi yang mengatakan bahwa perusahaan itu mendapat perintah langsung.
Kantor media lokal Voice of Democracy ditutup setelah Perdana Menteri Hun Sen mencabut izin operasinya di Phnom Penh, Kamboja, Senin (13/2).
Sebelumnya pada hari Minggu, 12 Februari, PM Hun Sen mengatakan dalam sebuah pernyataan di laman Facebook resminya bahwa pihak berwenang akan mencabut lisensi Voice of Democracy pada Senin pagi, menurut beberapa laporan berita.
Pada Senin pukul 10 pagi, sekelompok 10 pejabat Kementerian Informasi, petugas polisi, dan otoritas lainnya mengirimkan surat ke kantor media itu di Phnom Penh, secara resmi mencabut izinnya, kata perwakilan Voice of Democracy yang meminta anonimitas kepada Committee to Protect Journalists (CPJ).
Media tersebut akan berhenti menerbitkan berita sambil mengejar semua opsi untuk memulihkan lisensinya, editor asosiasi Voice of Democracy Ananth Baliga mengatakan kepada CPJ melalui email. CPJ mengirim email ke Kementerian Informasi dan kantor Hun Sen untuk memberikan komentar, tetapi belum menerima balasan.
“Perintah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen untuk menutup Voice of Democracy tidak dapat diterima dan harus segera dibatalkan,” kata Shawn Crispin, perwakilan senior CPJ untuk Asia Tenggara. “Jika Kamboja ingin mempertahankan demokrasi pura-pura menjelang pemilihan umum tahun ini, media independen harus diizinkan untuk meliput tanpa takut akan pembalasan. Pelecehan pemerintah terhadap kebebasan pers seperti ini sudah sangat umum dan harus dihentikan sekarang.”
Dalam pernyataan Facebook-nya, Hun Sen mengatakan Voice of Democracy sengaja memfitnah dia dan putranya Hun Manet dalam artikel tanggal 8 Februari tentang bantuan resmi Kamboja untuk korban gempa di Turki.
Artikel itu menuduh bahwa Hun Manet, yang merangkap sebagai kepala staf gabungan dan wakil komandan angkatan bersenjata negara itu, melampaui wewenangnya dengan menandatangani perjanjian bantuan US$100.000 atas nama perdana menteri.
Perdana menteri awalnya memberi Voice of Democracy 72 jam untuk memverifikasi fakta cerita dan mengeluarkan permintaan maaf. Tetapi Hun Sen kemudian mengatakan tanggapan organisasi berita itu tidak dapat diterima dan memerintahkan penutupannya, kata laporan berita itu dan perwakilan Voice of Democracy.
Voice of Democracy, yang dijalankan oleh organisasi nonpemerintah Cambodia Center for Independent Media, mengeluarkan surat permintaan maaf kedua Senin pagi, tetapi Hun Sen menjawab di Facebook dengan mengatakan dia mendukung perintah penutupannya, kata perwakilan Voice of Democracy.
“Tidak adanya media independen hanya akan membuat korupsi tidak terkendali dan mereka yang memegang kekuasaan ugal-ugalan,” kata Ananth Baliga kepada CPJ.
Voice of Democracy diakui secara luas sebagai salah satu dari sedikit media independen yang tersisa di Kamboja, dan telah menyelidiki masalah korupsi dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Afghanistan batasi akses ke VOA dan RFE/RL
Sementara itu, di tempat berbeda, situs web Voice of America (VOA) dan and Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) tidak dapat diakses oleh tiga penyedia telekomunikasi swasta Afghanistan — Afghan Wireless, Roshan, dan Etisalat Afghanistan. Tetapi tetap dapat diakses oleh pengguna perusahaan telekomunikasi milik negara Salam, menurut laporan VOA, pernyataan oleh RFE /RL, dan dua jurnalis di dalam negeri yang berbicara kepada CPJ tanpa menyebut nama, dengan alasan takut akan pembalasan.
Laporan VOA, yang diterbitkan 9 Februari, mengatakan para pengguna di berbagai provinsi Afghanistan mengalami masalah dalam mengakses situs web tersebut setidaknya selama dua pekan. Kementerian Informasi dan Kebudayaan Taliban sebelumnya melarang transmisi radio VOA dan RFE/RL pada 1 Desember 2022.
“Pembatasan akses ke situs web VOA dan RFE/RL di dalam Afghanistan mencerminkan serangan yang meningkat terhadap kebebasan pers dan hak rakyat Afghanistan atas informasi,” kata Beh Lih Yi, koordinator program Asia CPJ. “Taliban harus mencabut semua pembatasan akses ke media berita online di Afghanistan dan menghentikan kampanye penyensoran media tanpa henti.”
Situs web penyiaran itu tetap dapat diakses oleh mereka yang menggunakan perangkat lunak jaringan pribadi virtual, menurut wartawan yang berbicara dengan CPJ.
Artikel VOA mengutip seorang sumber di salah satu perusahaan telekomunikasi yang mengatakan bahwa perusahaan itu mendapat perintah langsung dari Taliban.
Otoritas Regulasi Telekomunikasi Afghanistan yang dikendalikan Taliban mengarahkan penyedia telekomunikasi untuk memblokir akses ke situs web Radio Azadi, cabang RFE/RL Afghanistan, atas perintah pejabat Taliban, kata kepala Radio Azadi Qadir Habib kepada Amu TV, mengutip sumber-sumber di dalam regulator.
CPJ mengirim email ke regulator dan menghubungi juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid untuk memberikan komentar melalui aplikasi perpesanan, tetapi tidak menerima balasan apa pun.
Pada bulan Agustus, CPJ menerbitkan laporan khusus tentang krisis media di Afghanistan, yang menunjukkan kemunduran pesat dalam kebebasan pers sejak Taliban menguasai negara itu pada Agustus 2021, ditandai dengan penyensoran, penangkapan, penyerangan, dan pembatasan terhadap jurnalis perempuan.
CPJ mendesak otoritas Kamboja harus membatalkan penutupan Voice of Democracy dan mengizinkan organisasi tersebut untuk terus meliput tanpa takut akan pembalasan. Pejabat Taliban mesti berhenti menyensor media di Afghanistan dan memulihkan akses tanpa batas ke situs VOA yang didanai Kongres Amerika Serikat dan RFE/RL.(cpj)