Pada periode 2000-2015 peran perempuan dalam aksi terorisme lebih mengarah pada invisible roles.
Baru-baru ini masyarakat Indonesia sempat dibuat geger kembali dengan kemunculan ledakan bom di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri diserang dengan senjata api oleh seorang perempuan terduga teroris.
Peneliti Hukum dan HAM LP3ES Milda Istiqomah mengatakan, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia terlihat dari jumlah tahanan dan napi perempuan pada kasus terorisme antara tahun 2000-2020 yang berjumlah 39 orang. Dari jumlah tersebut dapat dilihat persentase perempuan sebagai pelaku aksi terorisme kurang dari 10% jika dibandingkan dengan laki-laki.
Pada periode 2000-2015 peran perempuan dalam aksi terorisme lebih mengarah pada invisible roles (peran-peran yang pasif) atau di belakang layar. Dalam peran ini, pelaku bertugas sebagai operational facilitator atau bentuknya sebagai pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi, dan alat propaganda. Selain itu, ideological supporter. Maksudnya mereka meregenerasi ideologi jihadnya.
Tetapi belakangan perannya mulai meluas, yaitu juga menjadi visible roles sebagai pelaku bom bunuh diri dan juga bisa sebagai pejuang, penyedia senjata, dan perakit bom.
"Motivasi para perempuan terlibat dalam jaringan terorisme terbagi menjadi tiga faktor, yaitu personal factors, social political concerns, dan personal tragedy/ revenge," jelas dia dalam Seri Diskusi Negara Hukum bertema “Terorisme, HAM, dan Arah Kebijakan Negara”, yang diselenggarakan LP3ES melalui kanal Youtube LP3ES, Jumat (2/4)..