Kontroversi pegawai KPK itu hanya riak kecil di tengah menghadapi pandemi.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengajak bangsa ini untuk melakukan konsolidasi sistem presidensialisme. Hal itu, mengingat sistem yang ada telah menjadikan KPK selama 20 tahun, kewenangannya melebihi Presiden.
Fahri merespons, Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) telah terjadi maladministrasi.
"Memang ini pekerjaan besar. Sejak transisi Orde Baru (Orba) ke reformasi, hingga sekarang kita perlu pembacaan ulang yang konsolidatif. Karena sebuah sistem itu harus selalu dievaluasi. Apakah dia kuat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai ujian," ungkap Fahri dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK", Jumat (13/8).
Fahri menjelaskan, konsolidasi presidensialisme diperlukan, karena akan meminta pertanggungjawaban Presiden. Kepala Negara jadi sentrumnya.
"Undang-undang (UU) yang lama itu seperti membuat Presiden tidak bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi. Selama 20 tahun ini terkesan ada single fighter pemberantasan korupsi. Harusnya orkestrasi pemberantasan korupsi ada di mana-mana. Bukan hanya di Rasuna Said," tegas Fahri.