Komnas HAM baru memutuskan membuat tim ad hoc, usai 18 tahun terbunuhnya aktivis HAM Munir.
Suciwati masih ingat betul momen perpisahan dengan suaminya, aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Saat itu, 6 September 2004 malam di lobi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sebelum naik ke pesawat Garuda Indonesia GA-974 untuk bertolak ke Amsterdam, Belanda, meneruskan studi pascasarjananya, Munir memeluk dua anaknya. Ia lantas berucap kepada Suciwati.
“Cintamu mengiringi perjalananku. Perpisahan hanya untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya. Untuk orang yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak ada kata perpisahan,” kata Munir, yang dikisahkan kembali Suciwati dalam acara peluncuran buku Mencintai Munir di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/9).
Suciwati mengatakan, kala itu Munir bilang bahwa ia sudah menemukan surganya. Suciwati tak menyangka, itu adalah pertemuan terakhir dengan suaminya. Pada 7 September 2004, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol Amsterdam, Belanda, Munir menemui ajal.
Lima hari kemudian, Nederlands Forensisch Instituut (NFI) atau Institut Forensik Belanda mengeluarkan hasil autopsi terhadap jenazah Munir. Ada senyawa arsenikum di dalam tubuhnya. Diduga, ada orang yang meracuninya.
Delapan belas tahun berlalu, kasus Munir masih menyimpan misteri. Dalang utama pembunuhan salah seorang pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu belum dihukum. Walau beberapa orang, termasuk pilot senior Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto sudah dipenjara karena disangka terlibat konspirasi pembunuhan.