Perpres pelibatan TNI dalam menangani terorisme kontradiktif dengan isi sejumlah UU dan potensial memicu pelanggaran HAM.
Rencana pemerintah untuk melibatkan TNI dalam menangani terorisme jalan terus. Setelah "disinggung" dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme), kini pelibatan TNI juga ditegaskan dalam Perpres. Sejak awal Mei, draf Perpres itu sudah ada di tangan DPR untuk dibahas.
Dalam draf tersebut, beragam kewenangan dianugerahkan kepada TNI di ranah pemberantasan terorisme. Pada Pasal 2, TNI disebutkan memiliki tugas yang meliputi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Pasal 3 menjelaskan penangkalan itu meliputi kegiatan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya.
Tak hanya itu, anggaran khusus pun disiapkan untuk kerja-kerja TNI di medan tempur melawan terorisme. Dalam draf regulasi yang saat ini bernama "Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme" itu, anggaran penanganan terorisme TNI disebut tak hanya berasal dari APBN, tapi juga dari APBD dan sumber-sumber anggaran lainnya yang legal.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Choirul Anam menyebut isi draf itu melabrak sejumlah substansi dalam UU Terorisme dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI (UU TNI). Untuk anggaran misalnya, UU TNI jelas menegaskan bahwa TNI dibiayai anggaran pertahanan yang bersumber dari APBN.
Choirul memandang pelibatan TNI dengan beragam kewenangan tersebut juga melanggar sistem peradilan pidana yang selama ini berlaku di Indonesia. Isi draf tersebut, kata dia, seolah menempatkan TNI sebagai aparat penegak hukum.