Langkah itu keliru karena Israel termasuk negara penjajah dan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari, menilai, pemerintah melakukan kekeliruan dengan menerbitkan calling visa untuk Israel meskipun prosesnya diperketat. Menurutnya, negara mestinya memedomani Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 dalam membuat regulasi.
"Pemerintah jelas keliru ketika calling visa untuk Israel diberikan. Dalam Pembukaan UUD 1945 paragraf pertama jelas dan tegas menyatakan, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Maka sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Palestina masih diduduki Israel. Itu jelas penjajahan," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (1/12).
Calling visa, yang diterapkan Indonesia sejak 2012, merupakan layanan visa yang dikhususkan untuk warga dari negara-negara yang kondisi atau keadaannya memiliki level kerawanan tertentu. Penilaian berdasarkan beberapa indikator, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara, serta keimigrasian.
Ada delapan negara masuk kategori tersebut, termasuk Israel. Lainnya, yakni Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia.
Kharis pun menyayangkan langkah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bertolak belakang dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam menerbitkan calling visa untuk Israel. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, bersikukuh menolak penerbitan calling visa bagi Israel.