Kinerja KPK dalam penanganan perkara suap yang melibatkan komisioner KPU mengindikasikan ekses negatif UU KPK yang baru.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai 2020 dengan gebrakan. Berbasis bukti-bukti hasil penyelidikan sejak November 2019, tim KPK mencokok komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (8/1). Bersama Wahyu, tujuh orang turut digulung dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Wahyu ditengarai menerima duit suap hingga ratusan juta dari bekas caleg Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku. Suap itu diberikan agar Harun bisa menggantikan politikus PDI-P Rieky Aprilia di DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Nama Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto terseret dalam kasus itu. Pasalnya, staf Hasto bernama Saeful Bahri turut ditangkap tim KPK. Saeful diduga berperan mengalirkan duit Harun ke Wahyu atas sepengetahuan Hasto.
Sempat diapresiasi, pengangkapan Wahyu cs justru mengungkap borok proses penyelidikan KPK. Salah satunya ialah terkait proses penggeledahan yang lamban. Tim KPK baru diperbolehkan menggeledah sepekan setelah OTT.
"Padahal, kalau kita mengacu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) penggeledahan itu kan sifatnya harus segera. Agar barang bukti tidak raib," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana kepada Alinea.id, Rabu (22/1).