Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukan sesuatu yang sulit untuk dibawa ke pengadilan.
Penyintas peristiwa pembantaian 1965-1966, Bejo Untung, mengatakan tak ada alasan bagi negara untuk tidak memproses hukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu. Pasalnya, alat bukti peristiwa pelanggaran HAM sudah memadai.
Bersama korban pelanggaran HAM masa lalu lainnya, Bejo Untung menyerahkan surat pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Saat mengadu itu ia meminta agar proses hukum harus dilaksanakan.
Apalagi, sebanyak 99,5% masyarakat menyetujui penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui proses pengadilan. Angka itu dihasilkan dari survei dan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan Komnas HAM.
“Korban masih ada. Pelaku yang menunjukan itu lokasi pembunuhan juga masih ada. Bukti-bukti apakah bentuk testimoni, maupun juga administrasi, surat-surat pembebasan (sebagai tahanan politik/tapol) itu masih ada semua. Kartu KTP yang ada ET-nya (eks tapol juga) masih ada,” kata Bejo di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (9/12).
Paian Siahaan, orang tua dari Ucok Munandar Siahaan yang menjadi korban penghilangan paksa 1998, berpendapat hasil survei Litbang Kompas dan Komnas HAM menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mendukung Komnas HAM untuk segera menyelesaikan kasus kejahatan atas kemanusiaan tersebut.