Nasional

Celah korupsi dan gratifikasi penerimaan peserta didik baru

Praktik pungutan tak resmi ditemukan pada 2,24% sekolah dan 2,05% perguruan tinggi dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru.

Jumat, 14 Juni 2024 13:36

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan pada Selasa (30/4) lalu. Hasilnya, masih ada berbagai praktik pungutan tidak resmi pada 44,86% sekolah dan 57,14% perguruan tinggi.

Hasilnya, masih ada berbagai praktik pungutan tidak resmi di lebih dari 44,86% sekolah dan lebih dari 57,14% perguruan tinggi. Nepotisme banyak terjadi pada proses penerimaan siswa atau mahasiswa baru, serta pada pengangkatan dan penempatan guru, dosen, dan pimpinan satuan pendidikan. Pada 38,77% sekolah dan 64,02% perguruan tinggi, ditemukan adanya kasus siswa atau mahasiswa titipan pejabat sekolah atau perguruan tinggi, pejabat daerah, dan pejabat pusat.

Praktik pungutan tak resmi tersebut meliputi pungutan atau biaya yang dikenakan kepada guru dan dosen dalam pengajuan sertifikasi dan kenaikan pangkat atau jabatan. Praktik pungutan tak resmi juga ditemukan pada 2,24% sekolah dan 2,05% perguruan tinggi dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru. Pada satuan pendidikan negeri, umumnya terjadi ketika ada siswa atau mahasiswa yang tidak memenuhi syarat atau ketentuan penerimaan.

Selain itu, praktik gratifikasi ditemukan pada 45,94% sekolah dan 73,02% perguruan tinggi, berupa guru dan dosen yang menerima bingkisan dari siswa atau mahasiswa, dengan tujuan mendapatkan perhatian khusus. Perilaku yang mengarah pada suap juga ditemukan di 10,29% sekolah dan 29,70% perguruan tinggi, di mana ditemukan ada guru dan dosen yang memberikan sesuatu kepada pejabat di dinas pendidikan atau pejabat lainnya, dengan tujuan mendapatkan penempatan sesuai keinginannya. Pemberian bingkisan oleh siswa juga terdapat di 45,94% sekolah dan mahasiswa pada 69,31% perguruan tinggi kepada guru atau dosen, dengan tujuan memengaruhi nilai atau mempermudah kelulusan.

Potensi koruptif tersebut, kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji muncul karena setiap orang yang punya uang berpeluang lebih besar untuk diterima di institusi pendidikan ketimbang mereka yang berstatus ekonomi lemah.

Immanuel Christian Reporter
Fandy Hutari Editor

Tag Terkait

Berita Terkait