Penduduk permukiman padat mesti meningkatkan kewaspadaan saat Covid-19 menggempur agar tidak tertular.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Nasib warga kampung kota di DKI Jakarta kian terhimpit di tangah pandemi coronavirus baru (Covid-19). Hidup dalam keadaan pas-pasan dan terbatas saat situasi normal, tetapi mesti meningkatkan kewaspadaan kala virus SARS-CoV-2 “menggempur” Ibu Kota–mudah menyebar melalui tetesan kecil (droplet) saat batuk ataupun bersin.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), permukiman kumuh adalah wilayah tempat tinggal dengan bangunan padat dan tak layak huni, sanitasi lingkungan buruk, serta padat penduduk. Biasanya berada di lokasi marjinal atau tidak boleh dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, sepanjang aliran drainase, di bawah jembatan, pasar, dan sebagainya. Dus, permukiman kumuh dicirikan penduduk atau bangunan sangat padat, banyak rumah tak layak huni, dan sanitasi lingkungan buruk.
Merujuk data BPS Jakarta, sebanyak 445 dari 521 RW (86%) masuk kategori kumuh pada 2017. Sedangkan versi Badan Pertanahan Nasional (BPN), tersebar di 118 dari 267 kelurahan (49%). Tersebar di seluruh wilayah. Dari Kampung Pulo-Melayu, Palmerah-Tambora, Cilincing-Penjaringan, hingga Tebet.
Kegetiran warga kampung kota tersebut diamini Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja. Dirinya mengelompokkan permukiman padat penduduk menjadi tiga kategori. Pertama, permukiman kota kumuh, di mana tinggal kalangan berada namun lingkungannya kumuh, seperti di wilayah Hayam Wuruk, Jakarta Barat.
Kedua, permukiman kumuh dan miskin. Terakhir, permukiman kumuh, miskin, dan ilegal. Kesamaan ketiganya, luas hunian terbatas dan infrastruktur publik tak berjalan baik, macam drainase dan pengelolaan sampah, sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan warganya.