Publik cenderung tak mempercayai klaim pemerintah yang menyebut laju deforestasi turun.
Ade Yulia Oktaviani, 36 tahun, tak pernah menyangka rumahnya di Jalan Pelatuk, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bakal kebanjiran, pertengahan November lalu. Bagi Ade, peristiwa itu merupakan bencana terbesar yang pernah ia alami sejak puluhan tahun tinggal di Palangkaraya.
“Kaget. Saat itu hujan deras dari sore. Senin jam 23:30 (WITA), air (mulai) masuk rumah. Saya langsung mengangkat-angkat barang elektronik, kasur, dan baju-baju yang ada di lemari rak bawah,” ujar Ade saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (25/11).
Dipicu hujan deras yang tak henti-henti, banjir merendam sebagian besar wilayah Palangkaraya selama sepekan, yakni dari hari Minggu (14/11) hingga Minggu (21/11). Selama air masih tinggi, Ade bersama suaminya tinggal di pengungsian.
Ade tak bisa berjualan karena air banjir juga ternyata merendam lapak sayurnya di Pasar Kahayan, Kalimantan Tengah. Pasar tradisional itu terendam air hingga setinggi pinggul orang dewasa atau lebih dari seratus centimeter.
“Iya, (selama hidup di Palangkaraya) baru pertama kali (mengalami bencana banjir). (Air surutnya) lama, pas satu minggu. Kalau kerugian enggak ada. Cuma barang-barang aja terendam. Paling selama banjir enggak bisa jualan aja," tutur Ade.