DPR menganggap institusi setempat belum cukup memadai. Alhasil, eksekusi anggaran pun berjalan tak maksimal.
Permasalahan area pinggiran Papua bukan sekadar minimnya infrastruktur, namun juga kualitas kesehatan yang buruk. Belakangan menyeruak kasus gizi buruk dan wabah campak, yang langsung direspons sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Hal itu dianggap menjadi tamparan keras, mengingat besaran dana otonomi khusus (otsus) yang angkanya fantastis saban tahunnya. Besarnya dana tersebut tak berbanding lurus dengan perbaikan kualitas hidup, khususnya bidang kesehatan, di timur Indonesia ini.
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera menilai ada tiga akar masalah di Papua, yakni pembangunan institusi kesehatan yang belum rampung, peruntukan dan pembelanjaan dana yang belum tepat guna, dan desentralisasi wewenang di pemerintah provinsi yang menghambat pemerintah pusat untuk melakukan intervensi.
“Menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, pembangunan di sana langsung dikuratori oleh pemprov,” tegas Mardani saat berbincang dengan Alinea, Senin (5/2).
Masalahnya, Mardani menganggap institusi setempat belum cukup memadai. Alhasil, eksekusi anggaran pun berjalan tak maksimal.
“Semakin besar anggarannya, susah dibelanjakan, pembelanjaan pun tak tepat sasaran,” imbuh politisi PKS tersebut.