Konstitusi menjamin kesetaraan dan keadilan gender, namun praktiknya belum terealisasi hingga kini. Setumpuk persoalan pun masih membayangi.
Hari perempuan internasional yang jatuh hari ini, Kamis (8/3) menyisakan setumpuk persoalan yang tak kunjung selesai. Misalnya kerancuan tafsir hukum tentang warisan perempuan yang umumnya lebih sedikit dibanding laki-laki, tak peduli anak keberapa ia. Bahkan perempuan kerap tak menerima warisan karena status gendernya. Beberapa peraturan daerah juga menempatkan perempuan dalam posisi domestik. Tak hanya itu, beberapa waktu di Aceh Besar, perempuan dipersekusi karena kedapatan berduaan dengan laki-laki. Ia disiram dengan air comberan dan dijadikan tontonan warga.
Realitas itu yang mendorong Mahkamah Agung, yang didukung Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, serta Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), menggagas pembangunan sistem peradilan yang menjamin hak perempuan. Tujuannya antara lain agar perempuan juga mendapatkan akses keadilan yang setara.
Gagasan tersebut didengungkan dalam seminar yang digelar hari ini di Jakarta. Seminar terutama membahas Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma ini sendiri disusun sebagai wujud komitmen MA dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan, atas akses keadilan yang bebas dari diskriminasi.
Hakim Agung Desnayeti mengatakan, dalam ranah pidana, sering didapati situasi di mana perempuan jadi korban kekerasan seksual. Namun dalam tiap kasus, pihak perempuanlah yang disalahkan karena cara berpakaian, bahasa tubuh, cara ia berelasi sosial, status perkawinan, pekerjaan, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu.
Di samping itu, perilaku aparat penegak hukum dalam menangani perkara perempuan di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di persidangan juga kerap diwarnai laku tak sensitif. Alhasil, penyintas perempuan justru makin terluka karenanya.