Kegiatan utang-berutang adalah lazim dalam pembangunan negara. Tetapi, persoalannya bukan di sana.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan memandang, resesi yang dialami oleh Sri Lanka juga dapat terjadi di Indonesia. Sri Lanka saat ini dinyatakan sebagai negara bangkrut, setelah gagal mengatasi krisis ekonomi yang parah selama berbulan-bulan yang melanda negara Asia Selatan tersebut.
Anthony mengatakan, terhadap GDP, rasio utang yang dimiliki Sri Lanka memang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Namun, adalah kekeliruan bila memfokuskan diri ke tajuk tersebut dan bukan rasio utang luar negeri.
"Tetapi resiko dari krisis neraca pembayaran itu bukan pada rasio utang terhadap PDB karena rasio neraca pembayaran adalah rasio utang luar negeri," kata Anthony dalam Indonesia Leaders Talk yang disiarkan daring, Jumat (15/7).
Ia menyebut pada masa 2011-2012, Indonesia dan Sri Lanka tidak jauh berbeda pendapatan devisanya. Namun, pandemi menghancurkan semua pertahanan Sri Lanka.
Pada masa pandemi tepatnya 2020, Sri Lanka mengalami penurunan yang jauh terhadap pendapatan ekspor. Alhasil, kegiatan belanja luar negeri tidak mensejahterakan masyarakat dan ini menjadi peringatan bagi Indonesia dengan cadangan devisa dan utang luar negeri.