Berbagai cara sudah dilakukan guna mengatasi banjir di Jakarta. Namun, belum ada yang benar-benar efektif. Aneka usulan ini patut dicoba.
Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta Utara, kini tersimpan di Museum Nasional, merupakan bukti bahwa banjir sudah melanda wilayah Jakarta sejak dahulu kala. Prasasti itu mengisahkan usaha Raja Tarumanegara, Purnawarman (memerintah pada 395-434) mengatasi banjir dengan menggali Kali Cahndrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati, Tangerang) sepanjang 12 kilometer.
Di masa kolonial, usaha menanggulangi banjir di Jakarta—yang saat itu bernama Batavia—juga dilakukan. Menurut Restu Gunawan di dalam bukunya Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa (2010), Batavia dilanda banjir besar pada 1893, 1895, 1899,1904, dan 1909.
Restu menyebut, banjir terparah dalam 20 tahun terakhir terjadi pada 1918. Ketika itu, banjir menimbulkan problem sosial dan melumpuhkan roda ekonomi Batavia.
Tak tinggal diam, pemerintah kolonial lalu membentuk Burgerlijke Openbare Werken (BOW)—saat ini mirip Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Restu menulis, periode 1910-1915, pemerintah kolonial berusaha mengatasi banjir. Pada 1913-1915, dimulai proyek pembangunan kanal dan pintu air. Seorang insinyur hidrologi yang bekerja di BOW, Herman van Breen pun berhasil membangun kanal banjir Kali Malang dan pintu air Matraman dari 1913-1919. Ia disebut Restu menggagas kanal banjir barat pada 1923.