Adi menilai, musik mendiang Didi Kempot mengandung unsur bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
Kepergian maestro campursari Didi Kempot menyisakan duka bagi dunia musik Indonesia. Pengamat Seni, Wicaksono Adi menilai, musik mendiang Didi Kempot mengandung unsur bahasa yang mudah dipahami untuk masyarakat. Hal tersebut, yang membuat pelantun Stasiun Balapan lebih digemari dengan musisi campursari Manthous atau Anto Sugiyarto.
Manthous, merupakan pelopor musik campursari yang sukses pada era 90-an, di mana karir Didi Kempot juga sedang melejit. Selain bahasa yang mudah dicerna, pengangkatan kisah yang berhubungan dengan kejadian nyata juga salah satu faktor karya Didi Kempot, lebih banyak digemari masyarakat.
"Manthous ini beda dengan Didi Kempot. Kalau syair-syairnya Manthous ini lebih cenderung ke metaforik, agak kerumitan bahasa jawa. Bagi orang jawa sendiri, lagunya Manthous itu bukan contoh sehari-hari. Tetapi, kalau Didi Kempot lebih ke bawah bahasanya. Jadi sehari-hari, orang biasa," kata Adi, dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (9/5).
Menurut Adi, pemilihan bahasa dan kisah yang kerap terjadi di kehidupan tak lepas dari latar belakang Didi. Mungkin itu, karena Didi Kempot lahir dari jalanan juga. "Manthous ini lahir dari grup kesenian yang hisa dibilang agak elite. Tetapi, keduanya sangat terkenal," tutur dia.
Adi menilai, segmentasi karya Didi Kempot lebih mengarah kepada masyarakat kalangan bawah, sedangkan Manthous sebaliknya. Hal itu, ditenggarai kedua karya musisi besaru memiliki unsur yang berbeda.