Undang-Undang Dikti dikenal dengan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Herlambang P Wiratama mengatakan, kebebasan akademik memiliki sejarah yang panjang dalam dunia pendidikan tinggi, universitas, dan termasuk lembaga-lembaga yang memproduksi pengetahuan.
“Dasar secara hukum Hak Asasi Manusia berada di article Universal Declaration of Human Right (1948) dengan basis soal dengan kebebasan yang diakui kaitannya dengan ekspresi, berpendapat dan hak ekonomi sosial budaya. Terutama pengakuan terhadap hak atas pendidikan,” ujarnya dalam webinar Pentingnya Kebebasan Akademik Peneliti dan Otonomi Lembaga Penelitian, Rabu (12/1).
Herlambang mengatakan, ada Special Repporteur di PBB yang mengakomodasi tentang sejumlah resolusi yang berkaitan dengan kebebasan akademik. Dalam pengerjaannya, proses yang dipastikan secara kerangka normatif itu berada di tafsir Pasal 13 ayat 2 Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya.
Lebih lanjut, Herlambang juga mengatakan bahwa Kovenan itu telah dimodifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
“Jika dibandingan kontruksi pasal dan penerjemahan antara Undang-Undang Dikti dengan apa yang diatur dalam tafsir Hukum Hak Asasi Manusia ada gap. Konsep lebih rinci dan detail yang dimiliki oleh sistem hukum HAM yang dikembangkan PBB,” ujarnya.
Hal itu berdasarkan Undang-Undang Dikti dikenal dengan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Kebebasan akademik merujuk kepada dosen dan mahasiswa. Mimbar akademik merujuk kepada dosen saja dan otonomi keilmuan adalah kebebasan seorang profesor atau dosen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui research dan sebagainya.