Reformasi 1998 hanya menciptakan generasi pemarah yang miskin nalar kritis.
Tahun ini reformasi genap memasuki usianya yang ke-20. Gempita 1998 yang digadang-gadang melahirkan kebebasan tersebut, justru dinilai jalan di tempat. Enam tuntutan reformasi, yang didengungkan massa kala itu pun hanya menghasilkan jejak sunyi. Penuntasan kasus pelanggaran HAM masih gelap, kedaulatan ekonomi masih jauh panggang dari api, demikian halnya dengan reformasi birokrasi.
Disandera rezim otoritarian selama 32 tahun menurut Sammy Gultom, dari Ilmu Politik UI, membuat warga berontak. Namun sayangnya, reformasi itu hanya berhasil mengubah sebagian sistem lawas. Sementara kesadaran masyarakat dan peningkatan kualitas publik, belum sepenuhnya bisa diperbaiki. Padahal jika keduanya berhasil dirombak, maka itu menjadi penanda, reformasi masih relevan.
Hal senada disampaikan mantan guru besar Filsafat UI Rocky Gerung. Menurutnya, kondisi literasi Indonesia pascareformasi, hanya melahirkan generasi pemarah, namun analisis untuk perbaikan relatif masih berantakan.
"Pascareformasi, tidak (muncul) analisis, konsep juga berantakan. Jadi rakyat hanya dibuat sekadar marah saja. Kondisi itu menunjukkan ada penurunan daya kritisisme dalam masyarakat," ujar Rocky dalam diskusi publik yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Rabu (16/5).
Ia menambahkan, minimnya nalar kritis publik erat kaitannya dengan kemampuan Presiden Indonesia menaikkan standar literasi ke daerah. "Jika Presiden hanya bertanya soal ikan yang dimulai dengan huruf L, tentu itu tidak membangun daya kritis masyarakat," selorohnya.