Kekosongan pengakuan hukum terhadap PRT tidak hanya berdampak terhadap kerentanan, tapi juga ketidakpastian terhadap perlindungan.
Komnas Perempuan mempertanyakan tersendatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT. Padahal Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang diusulkan sejak 16 tahun lalu itu, telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional. Namun, selalu terbengkalai dan gagal disahkan.
“Kekosongan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT tidak hanya berdampak terhadap kerentanan PRT. Namun, juga pada ketidakpastian perlindungan atas hak pemberi kerja,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani dalam keterangan tertulis, Selasa (16/6).
Ia menyayangkan hal itu. Mengingat Indonesia telah menyetujui Konvensi 198 dan Rekomendasi 201 yang merupakan perlindungan PRT terpinggirkan. Akibatnya komitmen Indonesia yang telah disaksikan komunitas internasional dalam pidato presiden di konferensi ke-100 ILO di Jenewa pada 14 Juni 2011, belum bisa diwujudkan.
PRT tergolong jenis pekerjaan sektor informal yang didominasi perempuan. Ironisnya, di Indonesia tiada payung hukum untuk PRT. Sehingga PRT rentan menerima kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual, perdagangan orang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, belum menyangkut pelanggaran hak-haknya sebagai pekerja, seperi terkait upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat, dan peningkatan kapasitas.
Di lain sisi, pemberi kerja tidak diberikan kepastian hukum terhadap haknya untuk mempekerjakan PRT yang cakap. Pemberi kerja juga tidak menerima haknya untuk memperkerjakan PRT yang diperjanjikan dengan kepastian keamanan tempat tinggal dan anak-anaknya. Hal tersebut menunjukkan besarnya tantangan PRT dan pemberi kerja dalam bernegosiasi tanpa perlindungan hukum.