Porli hendak menghidupkan kembali PAM Swakarsa guna penegakan protokol kesehatan.
Staf Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Danu Pratama, menilai, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa mengancam kebebasan sipil. Alasannya, seakan ingin menciptakan aura intimidasi dan tindakan represif untuk memaksakan ketertiban umum.
"Wajar saja ketika masyarakat masih menyimpan trauma dan kecurigaan yang sangat tinggi terhadap PAM Swakarsa ketika dia dicoba untuk dibangkitkan pada tahun 2020 ini," tuturnya saat telekonferensi, Rabu (23/9).
Menurutnya, istilah PAM Swakarsa juga terkesan ingin menghidupkan kembali kelompok berekam jejak kelam karena eksistensinya terdahulu. Apalagi, kinerja Polri menggambarkan proyeksi potensi pelanggaran HAM dan tindakan represif.
Pada 1998, PAM Swakarsa–yang terdiri dari kelompok sipil seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Forum Umat Islam untuk Keadilan dan Konstitusi (Furkon), Pemuda Pancasila (PP), Pancamarga, para pengangguran, preman, hingga anak-anak putus sekolah–dipersenjatai bambu runcing untuk menghalang aksi unjuk rasa mahasiswa penolak Sidang Istimewa MPR pada 1998. Ia disinyalir melakukan banyak kekerasan–yang hingga kini belum jelas pertanggungjawabannya dari pembentukan hingga aktor intelektual dibalik mobilisasi massa.
"(Ada) perbedaannya memang. Kala itu, tidak ada peraturan yang jelas mengenai PAM Swakarsa ini maupun yang secara resmi melegalkan PAM Swakarsa ini. Bisa dikatakan berbeda (dengan PAM Swakarsa sekarang)," akunya.