Perlu pelibatan masyarakat dalam memutuskan pembangunan desa guna menekan potensi korupsi. Bukan memperpanjang masa jabatan kepala desa.
Lewat dua kali unjuk rasa di DPR, Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) dan Asosiasi Kepala Desa (AKD) menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Alasannya, waktu 6 tahun tidak cukup merekonsiliasi warga yang terbelah karena pemilihan kepala desa. Akibatnya, pembangunan desa tak optimal.
Pasal 39 Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 mengatur masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dalam satu periode. Kepala desa maksimal bisa menjabat tiga periode. Papdesi dan AKD menuntut perpanjangan masa jabatan jadi 9 tahun dan tidak ada pembatasan maksimal tiga periode.
Semua fraksi di DPR berjanji akan memperjuangkan tuntutan kepala desa. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar pun mendukung. Bahkan, politikus PKB itu sudah menyiapkan kajian akademis. Tapi, apakah tuntutan itu kebutuhan mendesak di desa?
Menurut Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW), tuntutan itu harus ditolak DPR dan pemerintah. Tuntutan itu bernuansa politik tukar guling dengan dukungan menuju kontestasi pemilu 2024. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan pembangunan di desa, termasuk mereduksi potensi korupsi.
Mengutip "Laporan Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021" yang dibuat ICW, korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum sejak 2015 atau sejak Dana Desa mengalir ke desa. Sepanjang 2015-2021 telah digelontorkan Dana Desa sebanyak Rp400,1 triliun.